Dampak Pemakaian Energi Fosil
Kehidupan manusia tidak
bisa dipisahkan dari lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan alam maupun
lingkungan sosial. Seiring dengan
perkembangan zaman, jumlah penduduk dunia juga terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya, sehingga peningkatan akan kebutuhan energi tidak dapat
dihindarkan lagi. Saat ini, hampir semua kebutuhan energi yang manusia gunakan
diperoleh dari konversi sumber energi fosil, misalnya energi untuk pembangkit
listrik, industri dan berbagai macam alat-alat transportasi.
Bahan bakar fosil itu sendiri adalah bahan bakar yang terbentuk
dari proses alam seperti dekomposisi anaerobik dari sisa-sisa organisme
termasuk fitoplankton dan zooplankton yang mengendap ke bagian bawah laut (atau
danau) dalam jumlah besar, selama jutaan tahun. Bahan bakar fosil merupakan sumber
daya tak terbarukan karena proses pembentukannya memerlukan waktu
jutaan tahun, sedangkan cadangan di alam habis jauh lebih cepat daripada proses
pembentukannya. Produksi dan penggunaan bahan bakar fosil menimbulkan
keprihatinan lingkungan. Sebuah gerakan global menuju generasi energi
terbarukan karena itu dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan energi
meningkat.
Diperkirakan oleh Energy Information Administration bahwa pada
tahun 2007 sumber utama energi terdiri dari minyak bumi 36,0%, batu bara 27,4%,
gas alam 23,0%, yang berarti 86,4% konsumsi energi primer di dunia adalah bahan
bakar fosil. Sedangkan sumber energi non-fosil seperti tenaga air, nuklir, dan
lainnya ( panas bumi , surya , gelombang , angin , kayu , limbah ) hanya
sebesar 13,6%. Padahal energi non-fosil ini jika dikelola dengan benar akan
memberikan kontribusi besar pada konsumsi energi dunia yang tumbuh sekitar 2,3%
per tahun.
Anda sadari atau tidak, pemakaian energi fosil yang terus
menerus akan mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan makhluk hidup. Hal tersebut dikarenakan bahan bakar fosil seperti
batubara , minyak bumi , dan gas alam mengandung persentase karbon yang
tinggi. Gas karbon adalah gas tanpa warna yang merupakan senyawa karbon dengan
oksigen, tidak terbakar dan larut dalam air. Jika gas karbon tersebut terlepas
ke udara akan bersenyawa dengan oksigen dan membentuk gas karbon dioksida.
Karbon dioksida adalah salah satu gas rumah kaca yang meningkatkan radiasi dan
memberikan kontribusi pada pemanasan global , yang menyebabkan rata-rata
suhu permukaan bumi meningkat.
Secara umum, kegiatan eksploitasi dan pemakaian sumber energi
dari alam untuk memenuhi kebutuhan manusia akan selalu menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan. Berikut merupakan beberapa dampak negatif
penggunaan energi fosil:
1. Dampak terhadap udara dan iklim
Penggunaan berbagai macam bahan bakarfosil (misalnya: minyak bumi, batu bara, dan
gas alam) untuk bahan bakar
alat-alat industri dan transportasi telah membuat sebuah perubahan besar pada
kondisi iklim dunia.
Penggunaan bahan bakar tersebut telah meningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan tiga gas-gas industri yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6) sehingga menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer bumi.
Penggunaan bahan bakar tersebut telah meningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan tiga gas-gas industri yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6) sehingga menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer bumi.
Emisi gas NOx dan SO2 ke udara dapat
bereaksi dengan uap air diawan dan membentuk asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat
(H2SO4) yangmerupakan asam kuat. Jika dari awan tersebut turun hujan, air hujan
tersebut bersifat asam (pH-nya lebih kecil dari 5,6 yang merupakan pH“hujan
normal”), yang dikenal sebagai “hujan asam”. Hujan asammenyebabkan tanah dan
perairan (danau dan sungai) menjadi asam.Untuk pertanian dan hutan, dengan
asamnya tanah akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman produksi. Untuk perairan,
hujan asam akan menyebabkan terganggunya makhluk hidup di dalamnya. Selain itu
hujan asam secara langsung menyebabkan rusaknya bangunan (karat, lapuk).
Sedangkan Gas-gas industri yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6) diproduksi
oleh proses industri, dan tinggal di atmosfer hampir selama-lamanya karena
tidak ada penyerap atau penghancur alaminya.
Peningkatan GRK tersebut akan menyebabkan fenomena pamanasan global yaitu naiknya temperatur rata-rata dipermukaan bumi. Pemanasan global itu sendiri akan mengakibatkan perubahan iklim, yaitu perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia.
2. Dampak Terhadap Perairan
Eksploitasi minyak bumi, khususnya cara penampungan dan
pengangkutan minyak bumi yang tidak layak, misalnya: bocornya tangker minyak
atau kecelakaan lain akan mengakibatkan tumpahnya minyak (ke laut, sungai atau
air tanah) dapat menyebabkan pencemaran perairan.
Selain
itu, pencemaran air oleh minyak bumi juga bisa disebabkan oleh pembuangan
minyak pelumas secara sembarangan. Pembuangan sisa sampah cair pabrik ke sungai
atau laut juga ikut memegang andil yang besar terhadap pencemaran air ini. Di
laut sering terjadi pencemaran oleh minyak dari tangki yang bocor. Dengan
adanya minyak pada permukaan air menghalangi kontak antara air dengan udara
sehingga kadar oksigen didalam air akan berkurang dan dapat mengganggu
biota-biota yang berada didalam air tersebut. Pada dasarnya pencemaran air
disebabkan oleh kesalahan manusia.
3. Dampak Terhadap Tanah
Dampak penggunaan energi terhadap tanah dapat diketahui, misalnya
dari pertambangan batu bara. Masalah yang berkaitan dengan lapisan tanah muncul
terutama dalam pertambangan terbuka (Open Pit Mining). Pertambangan ini
memerlukan lahan yang sangat luas. Perlu diketahui bahwa lapisan batu bara
terdapat di tanah yang subur, sehingga bila tanah tersebut digunakan untuk
pertambangan batu bara maka lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk
pertanian atau hutan selama kurun waktu tertentu.
Penggunaan
alat-alat yang menggunakan energi bersih sangat membantu lingkungan dan
pemulihan bumi. Kita bisa ikut berpartisipasi dalam menggunakan alat-alat yang
aman untuk lingkungan seperti yang paling efisien dan digemari saat ini, Pemanas Air
Tenaga Matahari. Salah satunya adalah Inti Solar Water Heater yang
terus berkomitmen dan konsisten mengedukasi Indonesia untuk menggunakan energi
ramah lingkungan dan gratis dari matahari. Mari ikut bersama menjaga
kelestarian lingkungan dan kelangsungan bumi. Silahkan bergabung dengan kami,
dengan menghubungi 021-66607588.
V
Jakarta
(30/03)Perubahan iklim sejatinya merupakan peristiwa alam yang alami. Namun,
akibat ulah manusia melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer,
temperatur bumi pun meningkat drastis. Inilah yang lalu dikenal dengan istilah
pemanasan global.
Pertanyaan berikutnya lalu menyeruak, “Ulah manusia seperti apa yang mampu melepaskan gas yang mengancam keberlangsungan hidup seluruh penghuni Bumi?” Salah satu jawaban paling populer adalah konsumsi energi listrik yang tak mampu dibendung lagi.
Listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan di rumah tangga maupun industri. Mulai dari peralatan dapur di rumah-rumah, pemakaian lampu, pendingin udara di gedung-gedung pencakar langit maupun pusat perbelanjaan, hingga mesin pabrik-pabrik besar semua membutuhkan listrik.
Namun, bukan berarti kita bisa membenarkan penggunaan listrik yang tanpa kontrol. Ada baiknya kita mulai merenung sejenak darimana energi listrik itu berasal.
Ancaman krisis energi
Umumnya listrik diperoleh dengan mengubah energi kinetik melalui generator menjadi listrik. Energi kinetik yang menggerakkan generator didapat dari uap yang dihasilkan dari pembakaran sumber energi fosil seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam.
Walaupun ada sumber energi lain yang juga bisa dimanfaatkan, yakni aliran air atau udara, energi fosil tetap menjadi primadona. Ya, energi fosil memang relatif mudah diperoleh, tapi konsekuensi yang harus ditanggung Bumi pun tak main-main. Semakin besar konsumsi energi fosil, maka akan semakin cepat habis cadangannya di dalam perut Bumi.
Selain masalah terbatasnya persediaan, setiap tahapan dalam proses energi fosil menghasillkan polusi dan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Mulai dari pemanfaatan hingga limbah akhir pembakarannya, emisi yang dihasilkan pun berkontribusi pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini kemudian berdampak pada pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim.
Tentu tidaklah bijak jika kita terus-menerus menggantungkan energi listrik kita kepada sumber energi fosil. Candu energi fosil menyebabkan cadangan kian menipis.
Istilah krisis listrik agaknya tidaklah berlebihan mengingat maraknya pemadaman listrik yang terjadi. Tidak hanya di pelosok-pelosok desa yang jauh dari sumber energi, tetapi juga di kota-kota besar yang dekat dengan sumber energi, bahkan Jakarta pun tak luput dari pemadaman listrik.
Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat konsumsi listrik yang tak terkontrol. Terbatasnya kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini tak mampu mengikuti laju kebutuhan konsumsi listrik. Penggunaan listrik yang boros berdampak pada berkurangnya pasokan listrik. Pemadaman bergilir pun menjadi pilihan yang tak terelakkan.
PT Perusahaan Listrik Negara telah memproyeksikan peningkatan konsumsi listrik dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2010-2019. Dokumen tersebut menyebutkan, kebutuhan tenaga listrik diperkirakan mencapai 55.000 Mega Watt (MW). Dengan kata lain, rata-rata peningkatan kebutuhan listrik per tahun mencapai 5.500 MW.
Guna memenuhi kebutuhan listrik yang terus melonjak, maka pihak penyedia energi listrik, PLN, mulai bekerja ekstra untuk meningkatkan kapasitas pembangkit di sejumlah lokasi. Namun solusi ini dapat dipastikan akan sia-sia jika di sisi lain pemborosan energi masih saja terjadi. Di sinilah kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan listrik berperan penting dalam menanggulangi ancaman krisis energi listrik.
Earth Hour
Efisiensi energi adalah salah satu solusi kunci untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan krisis energi. Satu langkah sederhana, namun memiliki dampak yang signifikan.
Pemikiran inilah yang menjadi “napas” Earth Hour, kampanye global untuk perubahan iklim yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia. Dengan mengajak seluruh warga dunia untuk mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak terpakai selama satu jam pada setiap hari Sabtu terakhir setiap bulan Maret, Earth Hour berperan besar dalam upaya penghematan energi.
Fokus Earth Hour sendiri memang sengaja dipusatkan di Jawa-Bali mengingat konsumsi listrik di dua pulau tersebut mencapai 78 persen. Sementara 23% total konsumsi listrik Indonesia, terfokus di DKI Jakarta dan Tangerang.
Sebagai ilustrasi, jika 10 persen penduduk Jakarta mematikan lampu, maka kampanye Earth Hour akan mampu menghemat 300MW. Angka tersebut setara untuk mengistirahatkan satu pembangkit listrik. Setara pula dengan daya listrik yang diperlukan untuk menyalakan 900 desa.
Tidak hanya itu, kampanye mematikan lampu ini juga diyakini dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 267,3 ton, setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun. Pengurangan emisi CO2 sebesar itu setara dengan ketersediaan oksigen untuk 534 orang. Secara ekonomi, satu jam tanpa lampu mampu mengurangi beban listrik Jakarta hingga Rp 200 juta.
Earth Hour mengingatkan kita bahwa terjadinya perubahan iklim juga berasal dari penggunaan pembangkit
listrik berbahan bakar fosil sehingga butuh kesadaran kita tentang pentingnya gaya hidup hemat energi.
Gerakan hemat listrik tidak terbatas pada tujuan untuk menghemat biaya tagihan. Lebih dari itu, hemat listrik juga menjadi solusi krisis pasokan listrik serta ancaman pemanasan global.
Dengan berpartisipasi dalam Earth Hour, kita tidak hanya berkontribusi menyelamatkan pasokan energi di Indonesia, tapi juga energi dunia. Jangan lupa matikan lampu hari Sabtu, 31 Maret 2012, selama 1 jam, pukul 20.30-21.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar